Rabu, 13 Februari 2013

tentang takengon takengon


Masjid Quba Takengon, Saksi Sejarah Kebrutalan PKI

POSTED ON  BY  IN BUDAYATRAVEL WITH 0 COMMENTS
Takengon – Siapa yang kenal dengan Masjid Quba. Masjid yang merupakan sejarah aksi pembakaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 21 1965 itu, telah menghiasi Kabupaten Aceh Tengah. Bukan hanya memiliki sejarah yang menarik, masjid yang terletak di Jalan Blang Gele, Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah ini, kubahnya saja sepanjang 20 meter.
Selain itu, sumur tua yang berada di areal masjid disebut-sebut bisa dibuat obat alias air keramat. Dan pada bulan puasa ini, sudah pasti Masjid Quba disesaki pengunjung untuk berbibadah. Tak jarang, dari luar daerah yang melintas, menyempatkan diri untuk bersujud.
Ceritanya, dulu bangunan Masjid Quba semi permanen pernah dibakar oleh anggota PKI. Sedangkan pendiri Masjid Quba pertama sekali oleh almarhum H. Abdurrahman, yang dulunya Masjid Mutelong, kini sekarang Masjid Besar Quba Bebesen.
Namun sayang, tidak banyak warga yang mengetahui sejarah secara detail tentang berdirinya masjid tersebut.”Memang bangunan masjid Quba yang masih permanen itu pernah dibakar oleh PKI. Dan untuk membangun kembali, masyarakat mencari dana khususnya di Takengon maupun Bener Meriah.
Ukuran bangunan masjid quba saat ini seluas 1.686 Meter persegi dengan daya tampung 3000 jemaah,” kata Kepala Kampung Blang Gele, Kecamatan Bebesan, Kabupaten Aceh Tengah, H Adam Usman kepada wartawan koran ini, kemarin.
Sedangkan pondasi bangunan dengan arsitektur moder baru. Pada awalnya, pembangunan masjid tahun 1930 hanya beratap daun dan seterusnya diperbaiki dengan bentuk permanen sebelum jamam Belanda. “Masjid ini merupakan masjid pertama di Gayo ini, bahkan diperkirakan masjid tertua di daerah dari masjid asir-asir,” ungkap H Adam Usman.
Menurutnya, keunitkannya, air telaga di bawah masjid yang memiliki sumur keramat. Air telaga itu sering digunakan oleh masyarakat gayo terutama untuk berobat. Sedangkan perehaban masjid tersebut sudah dua kali melalui swadaya masyarakat dan pemerintah setempat.
Dia menjelaskan, selama bulan puasa ini, Masjid Quba selalu disesaki oleh masyarakat yang ingin beribadah.
Disebutkan Kepala Kampung itu, dulunya Masjid Quba disebut dengan nama Masjid Mutelong yang menggunakan atap seng daun ijo. Masih kata kepala kampung Bebesen itu, masjid besar Quba Bebesen juga memiliki perkarangan jompo seluas, 2.058 meter dan gedung pesantren seluas 3.841 meter, yang kini masih berjalan. Masjid Besar Quba Bebesen pada mulanya disebut juga Masjid Ijo atau Masjid Mutelog pada tahun 1930. 


Legenda Puteri Pukes
Pemandangan di seputar danau sangat eksotik dan menarik. Banyak cerita legenda yang mengelilingi keindahan danau ini, seperti legenda beberapa goa. Yang cukup terkenal adalah Legenda Goa Puteri Pukes. Cerita kehadiran goa yang berada di pinggir danau ini cukup menggelitik.
Konon, saat tuah orang tua masih menjadi kenyataan, hiduplah seorang puteri bernama Pukes. Puteri Pukes kemudian dipinang oleh seorang pangeran dari seberang Danau Laut Tawar. Sesuai adat, jika seorang perempuan sudah dipinang dan diperistri, maka ia harus ikut dan tinggal dalam lingkungan keluarga besar suaminya.
Setelah dipinang, Puteri Pukes pun harus meninggalkan kedua orangtua, saudara dan kampung halamannya menuju kampung halaman sang suami. Sebelum sang puteri berangkat, terlebih dahulu ia diberi petuah oleh orangtuanya. Satu pesan yang harus ia ingat dan patuhi adalah, agar sang anak tidak menoleh ke belakang melihat orangtua, saudara ataupun kampung halamannya. Ia harus meneguhkan keyakinan untuk ikut bersama keluarga sang suami.
Meski sedih dengan pesan tersebut, namun sang puteri tetap harus mematuhinya. Saat perjalanan melintas danau menuju negeri sang suami, tiba-tiba sang puteri merasakan rindu yang tak terperi kepada orangtua dan kampung halamannya. Tanpa disengaja, ia pun menoleh ke belakang untuk sekadar melihat. Tuah orang tua pun terjadi. Dalam sekejap, cuaca yang cerah berubah menjadi gelap, dan petir di angkasa sambung menyambung. Badai pun datang. Tiba-tiba, sang puteri berubah wujud menjadi batu.
Kini, di dalam Goa Puteri Pukes yang berada di pinggir jalan, tepat di depan danau, terdapat patung seorang puteri. Konon, sesekali patung tersebut mengeluarkan air mata penyesalan akibat tak mendengar petuah orangtuanya. Objek wisata ini cukup ramai dikunjungi masyarakat sekitar maupun pendatang, terutama di hari libur.


Legenda Atu Belah 
menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Terjadi di sebuah desa Penarun Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah, hidup satu keluarga miskin. Keluarga itu mempunyai dua orang anak, yang tua berusia tujuh tahun dan yang kecil masih kecil. Ayah kedua anak itu hidup sebagai petani, pada waktu senggangnya ia selalu berburu rusa di hutan.

Kisah Atu Belah

Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota.
Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris tenggelam di sebuah sungai.
Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang rumput yang jauh letaknya.
“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras besok.
Akhirnya, Petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan untuk berburu rusa, di rumah tinggal istri dan kedua anaknya, pada waktu makan, anak yang sulung merajuk, karena di meja tidak ada daging sebagai teman nasinya. Karena di rumah memang tidak ada persediaan lagi, maka kejadian ini membuat ibunya bingung memikirkan bagaimana dapat memenuhi keinginan anaknya yang sangat dimanjakannya itu.
Akhirnya si ibu menyuruh anaknya tersebut untuk mengambil belalang yang berada di dalam lumbung. (padahal sebelumnya siayah memesan kepada sang ibu jangan di buka lumbung yang berisikan belalang itu), Ketika si anak membuka tutup lumbung, rupanya ia kurang berhati-hati, sehingga menyebabkan semua belalang itu habis berterbangan ke luar.
Sementara itu ayahnya pulang dari berburu, ia kelihatannya sedang kesal, karena tidak berhasil memperoleh seekor rusa pun. Kemudia ia sangat marah ketika mengetahui semua belalang yang telah di kumpulkan dengan susah payah telah lenyap hanya dalam tempo sekejap.
Kemudian, dalam keadaan lupa diri si ayah menghajar isterinya hingga babak belur dan menyeretnya keluar rumah. Dan kemudian tega memotong sebelah (maaf) payudara istrinya, dan memanggangnya, untuk dijadikan teman nasinya. Kemudian wanita malang yang berlumuran darah dan dalam kesakitan itu segera meninggalkan rumahnya.
Dalam keadaan keputusasaan si wanita tersebut pergi ke hutan, di dalam hutan tersebut si ibu menemukan sebongkah batu, dengan keputusasaan si ibu meminta kepada batu untuk dapat menelannya, agar penderitaan yang di rasakanya berakhir.
Selepas itu si ibu bersyair dengan kata-kata, “Atu belah, atu bertangkup nge sawah pejaying te masa dahulu,” kalau diartikan dalam bahasa indonesia “Batu Belah, batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa yang lalu. “Kata-kata” itu dinyanyikan berkali-kali secara lirih sekali oleh ibu yang malang itu.
Sesaat kemudian, Tiba-tiba suasana berubah, cuaca yang sebelumya cerah mejadi gelap disertai dengan petir dan angin besar, dan pada saat itu pula batu bersebut terbelah menjadi dua dengan perlahan-lahan tanpa ragu lagi si ibu melangkahkan kakinya masuk ke tengah belahan batu tersebut. Setelah itu batu yang terbelah menjadi dua tersebut kembali menyatu.
Si ayah dan kedua anaknya tersebut mencari si ibu, tetapi tidak menemukannya, mereka hanya menemukan beberapa helai rambut diatas sebuah batu besar, rambut tersebut adalah milik si ibu yang tertinggal ketika masuk kedalam atu belah.
Ia menangis keras dan memanggil ibunya sampai berjanji tidak akan nakal lagi, namun penyesalan itu datangnya sudah terlambat. Ibunya telah menghilang ditelan Batu Belah.
Cerita Rakyat ini adalah cerita rakyat yang banyak di kenal anak-anak di masyarakat gayo. Mereka menggolongkannya sebagai legenda, Karena oleh penduduk gayo kejadian ini benar-benar terjadi di daerah mereka. Untuk membuktikannya mereka dapat menunjukkan kepada kita sebuah betu besar yang terletak kira-kira 35 km dari kota Takengon di Gayo.

luyang koro (goa kerbau )
Gua Kerbau hanya dijaga dan ditata oleh keluarga masyarakat di sana secara turun menurun untuk pribadi yakni oleh keluarga Syamsul Bahri anaknya Ali Shahak sejak tahun 1988 hingga sekarang,ternyata tak ada kepedulian Pemda Aceh Tengah
Menurut Syamsul Bahri Gua Kerbau menembus pegunungan Brahpanyang hingga ke Desa Isaq yang jaraknya berkisar 35 kilometer. Pada abad ke 18,sebut Syamsul Gua itu digunakan masyarakat sebagai jalan penghubung antara Gua Kerbau Desa Toweren Uken dan Goa Kaming di Desa isaq sekaligus melaksanakan perdagangan.
Syamsul menyebutkan, selain itu masih dalam abad ke 18 masyarakat selalu menggunakan Gua tersebut untuk berdagang kerbau baik dari Desa Toweren ke Isaq bahkan masa penjajahan dan peperangan melawan penjajahan, gua kerbau itu digunakan sebagai tempat persembunyian kaum mujahidin yang dikejar-kejar Belanda.
Pada masa itu cerita Syamsul yang menjaga Gua Kerbau secara turun temurun, aktivitas masyarakat Toweren Uken sekitarnya adalah bersawah sementara di desa Isag merupakan desa pengembalaan ternak. Makanya pada musim tanam di Toweren Uken dengan menggunakan transportasi melalui Gua Kerbau mengembala kerbau ke Isaq sementara warga Isag pada musim panen di Toweren mendatanginya.
Menurut Syamsulbahri, di kala itu di Aceh tengah yang berkuasa adalah Raja Linge dan untuk melakukan pencegahan pencurian kerbau yang datang bergerombolan dari berbagai daerah di kawasan Aceh, maka oleh Raja Linge melakukan perjanjian ( Mou –red ) secara Magic dengan gerombolan yang membawa kerbau melalui gua tersebut.
Isi perjanjian yang disepakati setiap kerbau yang melintas daerah “ Bur Lintang “ tepatnya kilometer 12 dalam gua menuju Isaq harus mematuhinya tidak boleh dipaksakan dan harus istirahat dan hal itu tidak boleh dilanggar dan apabila ada pelanggaran maka hewan yang dibawanya akan menjadi batu.
“ Itulah sebabnya banyak kerbau dan kambing hasil peliharaan masyarakat yang menjadi batu seperti gambaran yang terdapat di dalam Gua Kerbau ( km 12-red ) persisnya dipinggiran kolam yang terdapat di dalam gua .” Sebut Syamsul sebagaimana diceritakan kepada ANP yang memasuki gua lopyang koro ( Gua Kerbau ) karena melanggar MoU.
Raja Tok Rebise Mampu Berjalan di Gelap
Sementara itu, tambah Syamsulbahri, pada awal zaman penjajahan kolonial Belanda Gua itu digunakan sebagai markas tentara Muslimin yang merupakan kelompok masyarakat dari Aceh Tengah dan Gayo serta warga Aceh di luar Gayo yang menentang kehadiran penjajahan dengan pimpinan “ Jemerah Aman Catur “ yang dikenal masyarakat hingga sekarang dengan sebutan “ Tok Rebise “ .
Tok Robise sebut Syamsul menjawab ANP adalah seorang Jawara yang mempunyai ilmu kedikjayaan yang mampu berjalan di gelap tanpa penerang dan mampu bertahan di dalam api bila dia dibakar. Yang paling unik lagi sebut Syamsulbahri, Tok Rebise mampu berperang selama satu minggu tanpa makan dan minum dan iapun kebal terhadap benda tajam dan senjata api.
“Tok Rebise mampu bertahan senjata dan mampu berperang dalam satu minggu tanpa makan dan minum.” Sebut Syamsulbahri seraya menyebut, Tok Rebisepun ahli seluk beluk gua sehingga menemukan pula tembusan gua ke Isaq yang berjarak 35 kilometer dan tembus ke Gua Kemili dan Gua Gajah.
Ditambahkan, pada awal abad ke-19 setelah kolonial Belanda berkuasa menjajah Indonesia dan merembes ke seluruh penjuru termasuk Aceh Tengah, kelompok Tok Rebise ( Tentara Muslimin ) tidak merasa puas dan mereka membunuh Belanda secara membabi buta .
Terkait dengan itu sebut Syamsul, Oleh Raja Ilang yang memimpin Aceh Tengah memberikan tanah kepada Tok Rebise ( Pimpinan Tentara Muslimin ) agar tidak lagi mengganggu tentara kolonial Belanda dengan memberikan fasilitas tambahan dengan ternak sapi dan kerbau serta kambing berikut jabatan sebagai Panglima khusus Reje Ilang ( Raja Ilang ).
Keunikan
Menurut Syamsulbahri, ada beberapa keunikan Loyang Koro yang terletak diposisi yang strategis yang jaraknya 6 kilometer dari arah Timur kota Takengon Aceh Tengah dan sekitar 200 meter dari Hotel Renggali panaromanya sangat asri,indah dan sangat-sangat menarik yang dihiasi dengan pepohonan kayu dan batu-batuan dan luasnya berkisar 4 hektar.
Uniknya, sebut Syamsulbari di dalam Gua pada kedalaman 15 kilometer, terdapat rawa-rawa dan tumbuhan rawa dalam bahasa daerah Gayo disebut “ Beldem “. Selain itu di dalam gua juga terdapat terowongan ke atas sehingga cahaya dan sinar matahari memasuki gua.
Syamsulbahri menambahkan sembari menunjuk keunikan kepada ANP, yakni pada kedalaman 16 kilometer terdapat gambar batuan berbentuk kerbau dan itu memang kejadian yang luar biasa setelah pemiliknya tidak mematuhi perjanjian yang telah disepakati dengan Raja Tok Rebise.
Syamsul menceritakan pula bahwa ada pengembala kerbau dan Kambingnya dari loyang koro ke Isaq dan pada kedalaman 16 kilometer di terowongan yang sempit tak mau mendengarkan perjanjian sehingga tanpa mereka duga datanglah burung Sertik sejenis kelelawar dan Cicem Uren atau Hujan ( Sejenis burung layang-layang-red ).
Akibat terowongan sempit dan tidak mau mengikuti perjanjian terjadilah perkelahian antara pengembala dengan burung – burung yang tidak diketahui datangnya serta datang pula pengembala dari arah berlawanan, yang akhirnya setelah terjadi pertempuran semua mereka termasuk hewan yang dibawanya menjadi batu.
Sementara pengunjung yang datang dari berbagai daerah terutama Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara, Lhokseumawe dan Bireuen di setiap Minggu memperoleh pelayanan yang baik dari Syamsulbahri dan sekaliguas menceritakan berbagai hal keunikan dan sejarah loyang koro itu mendapat respon dari berbagai pelajar.
Mirza salah seorang santri dari Dayah “ Darul Jamil “ Beureunun Pidie menjawab ANP menyebutkan, Loyang Koro sangat indah, asri dan menarik, namun sebut Mirza hal itu tidak ada kepedulian Pemda padahal alam yang indah itu mampu meningkatkan Pendapat Asli daerah ( PAD ).
“Saya kagum kepada keluarga Syamsul Bahri anaknya Tgk Ali Shahak yang mau peduli membenah dan menjaga gua loyang koro dengan mengandalkan bantuan dari pengunjung serta masuk ke gua dengan hanya Rp 2000 / pengunjung.” Sebut Mirzaa yang mengharapkan kepedulian Pemda setempat untuk menmgelolanya dan memperindah.
Mirza yang mengkoodinir kawan-kawannya beserta bantuan Ustaz dan Ustazah datang ke Loyang Koro dengan tujuan selain menikmati alam yang menarik,juga menggeluti situs sejarah di Aceh tengah serta menikmati alam ciptaan Allah sekaligus mereka perlu refreshing. Itulah kisah Loyang Koro dengan harapan terbersit pikiran Pemda Aceh Tengah untuk membenahi sehingga Aceh Tengah benar-benar merupakan daerah wisata yang indah dan mempesona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar